Kiai Hasan Genggong dan Kitab Karangan Beliau yang Terlupakan  

    Kiai Hasan Genggong dan Kitab Karangan Beliau yang Terlupakan  
    Foto Alm. KH. Hasan Genggong Probolinggo

    PROBOLINGGO - Kiai Hasan Genggong adalah nama kiai yang tak asing bagi masyarakat tapal kuda, termasuk saya yang tinggal di sebuah pelosok desa. Pasalnya, nama beliau selalu disebut oleh guru ngaji saya di kampung tiap memulai tawasul dalam berbagai acara, seperti tahlilan, selametan dan lain sebagainya. Nama Kiai Hasan kerap disebut bersamaan dengan Kiai Syamsul Arifin, Kiai As’ad, Kiai Zaini Mun’im dan beberapa kiai lokal di daerah saya.  

    Alasan lain: bapak saya dulu pernah ngaji privat kitab Sullam dan Safinah, dua kitab fenomenal dalam tradisi intelektualisme islam Indonesia, kepada salah seorang alumni pesantren Genggong, pesantren milik Kiai Hasan. 

    Percakapan tentang Kiai Hasan adalah percakapan tentang karamah dan hal-hal mistik yang melingkupinya. Bayangkan saja, dulu di daerah Bondowoso ada dua kiai, yang dianggap wali dan memiliki karamah pilih tanding. Uniknya, kedua kiai ini adalah santrinya Kiai Hasan Genggong. Ajaib sekali bukan? (muridnya saja begitu apalagi gurunya)

    Pertama Kiai Husnan bin Muhsin di daerah Wringin, Arak-arak, kedua Kiai Togo Ambarsari di daerah Tangsil, Wonosari. 

    Kiai Husnan dikenal memiliki karamah bisa mukasyafah. Bukan hanya itu, umumnya warga desa yang sowan kiai mereka membawa hasil tani, seperti beras, jagung, singkong dan lain-lain dan yang “ngeri” wadah yang digunakan untuk membawa hasil tani itu pulangnya diisi kembali oleh Kiai Husnan dan isinya bisa berbeda-beda sesuai “isi hati” para tamu. 

    Konon kisahnya, ketika para tamu hendak pulang, wadah tersebut diletakkan di depan Kiai Husnan. Sebelum dibawa pulang, beliau mengibaskan surban yang dipakainya. Dan aneh bin ajaib, isinya bisa berbeda-beda. Ada yang berisi makanan, ada yang berisi (maaf) kotoran sapi dan lain-lain. Tamu Kiai Husnan ini ramai sekali. 

    Nama kedua, Kiai Togo, adalah seorang kiai yang sekaligus wali majdub. Prilaku dan tingkah lakunya “dianggap” aneh tetapi doanya “mandhih”. Jika berpakaian cenderung apa adanya bahkan kadang-kadang telanjang dada. Tapi jangan salah sangka, ia juga ramai dikunjungi banyak tamu dan Kiai Salwa Arifin, Bupati Bondowoso saat ini, adalah putra beliau.  

    Kiai Hasan sendiri adalah kiai yang memang penuh karamah. Kisah karamah selalu terselip dalam lembaran sejarah hidupnya. Sejak ia masih dalam kandungan bahkan ketika sudah wafat. Beliau adalah putra dari seorang kiai bernama Kiai Syamsuddin dan Nyai Khadijah, yang keduanya akrab disebut Kiai Miri dan Nyai Miri, dari desa Sentong, Karajengan Kraksaan.   

    Beliau termasuk santri Syaikhona Kholil, Bangkalan di era-era awal. Lahir pada 27 Rajab 1259 atau bertepatan dengan tahun 1840. Secara usia, beliau lebih sepuh dari Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir pada 14 Februari 1871. Di Mekkah, beliau berguru kepada beberapa ulama kenamaan seperti Sayyid Bakri bin Sayyid Syato Dimyathi, Syaikh Nawawi al-Bantani, Syaikh Muqri sunda dan lain sebagainya.      

    Beliau juga akrab menjalin relasi dengan para habaib, misalnya seperti Habib Sholeh bin Muhsin al-Hamid, Tanggul, Habib Salim bin Jindan, Jakarta dan beberapa habaib lainnya. Kisah Kiai Hasan yang bisa mengenali habib/sayyid dari bau keringatnya sudah masyhur, tak perlu saya ulang kisahnya di sini. 

    Aktivitas beliau di samping sebagai pengasuh kedua Pesantren Genggong juga sebagai salah satu mursyid thariqah Naqsyabdiyah.  

    Banyak yang tak tahu bahwa beliau yang dan berusia 115 tahun itu juga memiliki beberapa karangan. Dalam Website resmi Pesantren Zainul Hasan, Gengong ada sekitar 6 judul nama kitab. Yaitu Aqidah Tauhid fi Ilm al-Tauhid, Nazam Safinah fi al-Fiqh, al-Hadis al-Tartib al-Ahruf al-Hijaiyah, Khutbah al-Nikah, Khutbah Jumat dan al-Syi’ru bi al-Lughah al-Manduriyah

    Dan betapa girangnya saya, saat kemarin malam karena sebuah keisengan tepatnya sekitar jam 01. 00 WIB dinihari menemukan satu naskah karya beliau di sebuah website. Karya itu bertajuk “Aqidah al-Tauhid li al-Syaikh Muhammad Hasan al-Gingguni al-Kraksani”, sebuah kitab yang diterbitkan penerbit Ahmad Nabhan Surabaya pada tahun 1409 Hijriyah atau 1988 Masehi. 

    Kitab tersebut berupa nazam yang dilengkapi dengan makna pegon berbahasa Madura menjelaskan tentang akidah Asy’ariyah meliputi 20 sifat wajib bagi Allah, 20 sifat mustahil bagi Allah dan 1 Sifat jaiz bagi Allah. Sekaligus dalam kitab itu berisi 4 Sifat wajib bagi utusan, 4 Sifat mustahil bagi nabi dan 1 sifat jaiz bagi nabi. Jika dijumlah ada 50 sifat. Itulah yang masyhur dikenal dengan al-Aqaid al-Khamsin atau “Aqoid saeket”. 

    Dan setelah menjelaskan secara lengkap “aqoid saeket” ini Kiai Hasan menyebut bahwa semuanya itu terkestrak’terkandung dalam dua kalimat Syahadat. Ini menarik banget. Bahwa dua kalimat syahdat, menurut Kiai Hasan, jika dipahami dan dielaborasi secara mendalam mengandung rumusan akidah Ahlussunah Waljamaah. 

    Pasca berkomentar soal rumusan di atas, beliau membahas perihal rukun Iman dan hal-hal yang “aneh” & di luar akal manusia--bahasa aneh adalah bahasa dalam nazam tersebut, al-Ajaib diartikan “aneh”--dalam Islam, seperti konsep al-Ba’ts, al-Hisab, al-Mizan, Neraka, al-Shirat, dan Surga. 

    Menurut beliau semua hal tersebut harus diyakini, dipercayai dan diimani sepenuh hati. 

    Beliau juga menyebut nama Ukasyah, yakni seorang sahabat nabi, yang oleh baginda nabi dijamin masuk surga tanpa hisab.--ketika membaca ini, saya terperanjat sebab beberapa hari sebelumnya, saya sedang menulis biografi sahabat Ukasyah bin Mihsan itu--. 

    Pada bait setelahnya, Kiai Hasan mengelaborasi sendiri secara serius terkait konsep-konsep di atas. misal bagaimana konsep al-Hisab, Shirat, Surga dan Nereka. Beliau menyebut bahwa kenikmatan surga adalah sesuatu yang tak pernah terlihat, tak pernah terdengar dan tak pernah terlintas dalam hati manusia. 

    Setelah menjelaskan itu, beliau menutup nazamnya yang berjumlah 76 bait ini dengan ucapan syukur kepada Allah, ucapan salawat atas baginda nabi, keluarga dan para sahabatnya. 

    Di bait paling akhir, beliau menjelaskan bahwa nazam akidah ini ditulis pada tahun 1336 Hjiriyah atau 1917 Masehi. Berarti beliau menulis nazam ini kira-kira saat berusia 77, 38 tahun sebelum beliau wafat.  Beliau wafat pada tahun 1955 dalam usia 115 tahun. 

    Sebenarnya masih ada satu lagi kitab beliau yang saya tahu yaitu kitab yang berjudul “al-Ahadis al-Nabawiyah Ala Tartib al-Ahruf al-Hija’iyah” hanya saja, saya hanya punya covernya. Konon katanya kitab tersebut ada di Maktabah al-Halabi, Mesir. 

    NB: di bawah adalah gambar karya beliau tentang akidah yang kita bahas sekarang.

    salamAhmad Husain Fahasbu

    Ponirin Mika

    Ponirin Mika

    Artikel Sebelumnya

    Kiai Ihsan Jampes dan Kisah Ilmu Ladunni 

    Artikel Berikutnya

    Masjid Baitis Salam Karanganyar Akan Beri...

    Berita terkait

    Rekomendasi

    Hendri Kampai: Hindari Terlalu Banyak Intervensi terhadap Kewenangan, Polri di Bawah Presiden Adalah Langkah Tepat
    Hendri Kampai: Utopia Indonesia, Irigasi Bagus dan Petani Bisa Panen Tiga Kali Dalam Setahun
    Hendri Kampai: Utopia Indonesia, Visi Indonesia Emas Namun Uang Kuliah Semakin Tak Terjangkau
    Hendri Kampai: Pemimpin Sejati Meninggalkan 'Legacy', Bukan Janji, Apalagi Hutang
    Hidayat Kampai: Nepo Baby, Privilege yang Jadi Tumpuan Kebijakan Publik?

    Ikuti Kami